
Berbagi Cerita Terbaru Pembatasan ini merupakan bagian dari berbagai pengontrolan keimigrasian yang juga mencakup penundaan penerimaan pengungsi. Tampakya pembatasan yang berlaku selama pemerintahan Obama menjadi dasar daftar negara yang dilarang oleh Trump.
Negara-negara itu sudah masuk ke dalam kategori "negara-negara yang diwaspadai" setelah disahkan undang-undang oleh Kongres yang didominasi anggota dari Partai Repubik pada 2015 mengubah program penerimaan visa.
Program Bebas Visa memungkinkan warga negara dari 38 Negara masuk ke wilayah Amerika Serikat selama 90 hari tanpa visa. Inggris, Prancis dan Jerman termasuk negara-negara yang dicakup dalam program itu.
Pengunjung dari negara-negara itu mengajukan Electronic System for Travel Authorization (ESTA) atau Sistem Elektronik untuk Otorisasi Perjalanan.
Pada Desember 2015 Kongres mengesahkan undang-undang -yang disusun oleh senator dari dua partai, dan didukung serta ditandatangani oleh Gedung Putih - yang mencabut fasilitas bebas visa bagi warga negara asing yang pernah berkunjung ke negara-negara tertentu sejak Maret 2011.
Negara-negara itu diidentifikasi memiliki organisasi teroris yang beroperasi secara signifikan di kawasan, atau negara itu dianggap sebagai "tempat berlindung" bagi teroris.
Setelah Libia, Somalia dan Yaman dimasukkan ke dalam daftar pada Februari 2016, maka jumlah "negara yang diwaspadai" bertambah menjadi tujuh sebagaimana tercantum dalam daftar perintah eksekutif Trump.
Berdasarkan pembatasan yang berlaku, warga negara yang sebelumnya memenuhi syarat untuk program bebas visa dan pernah berkunjung ke tujuh negara itu selama periode tersebut maka mereka dipaksa mengajukan visa.
Pemerintahan Obama mengesahkan Akta Perbaikan Program Bebas Visa dan Pencegahan Perjalanan Teroris pada 2015 setelah serangan teroris di Paris pada November 2015.
Namun akta itu, tidak seperti perintah Trump yang lebih luas, hanya berdampak pada orang-orang yang seharusnya tercakup dalam program bebas visa, dan bukannya melarang masuk seluruh warga negara dari tujuh negara itu.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 29 Januari, Presiden Trump mengatakan kebijakannya "mirip" dengan perintah yang dikeluarkan Obama yang "melarang visa bagi pengungsi dari Irak".
Trump merujuk pada insiden Mei 2011 ketika FBI mendakwa dua warga negara Irak di Kentucky terkait dengan kasus-kasus terorisme federal. Keduanya dituduh menyedikan dukungan material kepada al-Qaida dan pernah terlibat dalam serangan terhadap pasukan Amerika di Irak.
Dengar pendapat di Subkomite Penanggulangan Terorisme dan Intelijen menemukan bahwa kedua warga Irak itu "memanfaatkan program khusus pengungsi Irak". Sistem penyaringan kemudian ditinjau ulang dan akibatnya, jumlah pengungsi Irak yang diterima di AS lebih sedikit pada tahun itu.
Jumlah pengungsi dari Irak turun dari 18.016 menjadi 9.388 sebagai akibat dari pemberlakuan sistem penyaringan baru. Jumlah tersebut bertambah menjadi 12.163 pada tahun berikutnya.
Apakah warga dari tujuh negara itu menjadi ancaman terbesar?
Perintah Trump menyebutkan individu-individu kelahiran luar negeri bertanggung jawab atas "berbagai" tindak kejahatan terorisme sejak 9/11, termasuk warga negara yang masuk ke AS dengan visa atau melalui program penerimaan pengungsi. Para pelaku serangan 9/11 berasal dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Lebanon dan Mesir.
Pada September 2015 Komite Keamanan Dalam Negeri melaporkan bahwa kelompok yang menyebut diri Negara Islam (ISIS) telah menginspirasi atau memerintahkan 60 rencana teror atau serangan di negara-negara Barat, termasuk 15 di Amerika Serikat.
Terdapat 250 warga negara AS yang diketahui telah bergabung dengan kelompok-kelompok ekstrem berhaluan Islam.
Kasus-kasus terorisme di AS sejak 9/11

Kasus-kasus ini termasuk mereka yang dikenai dakwaaan dengan terorisme atau mereka yang tewas dalam tindak teroris demi jihad.
Sejumlah serangan besar di Amerika Serikat baru-baru ini tidak dilakukan oleh warga negara yang masuk dalam perintah eksekutif. Daftar serangan meliputi:
1. Penembakan di Bandara Fort Lauderdale (Januari 2017): Seorang warga AS
2. Penembakan kelab malam Orlando (Juni 2016): Seorang warga AS keturunan Afghanistan
3. Penembakan San Bernardino (Desember 2015): Seorang warga AS keturunan Pakistan, dan seorang warga Pakistan
4. Penembakan Chattanooga (Juli 2015): Warga AS kelahiran Kuwait
5. Penembakan Charleston (Juni 2015): Seorang warga AS
6. Penembakan maraton Boston (April 2013): Dua warga negara Rusia dari etnik Chechnya
Terdapat beberapa serangan nonfatal yang dilakukan oleh individu dari dua negara yang masuk dalam daftar negara yang dilarang.
Menurut New America Foundation, 82% insiden terorisme sejak 2001 dilakukan oleh warga negara dan penduduk tetap AS. Sejak serangan 9/11, pelaku-pelaku jihad membunuh 94 orang di dalam wilayah negara itu.
Kajian yang dilakukan oleh Institut Cato menunjukkan bahwa warga Amerika 235 kali lebih mungkin mati karena pembunuhan biasa dibandingkan mati karena serangan teroris yang dilakukan oleh orang asing di Amerika Serikat.
Senator John McCain dari partai Republik Republik dan Lindsey Graham juga dari Republik mengatakan perintah presiden "mungkin lebih banyak membantu perekrutan teroris dan bukannya meningkatkan keamanan kita", karena sinyal yang dikirimkan ke dunia Muslim.
Akan tetapi Presiden Trump menepis anggapan itu dengan alasan bahwa musuh-musuh Amerika sudah marah dan tanggung jawabnya yang utama adalah menjaga Amerika tetap aman. Dan para pendukungnya sepenuhnya setuju.
"Donald Trump mengatakan langkah ini hanya sementara dan saya mempercayainya," kata seorang penduduk di Staten Island, New York. "Tugas nomor satunya adalah melindungi rakyat Amerika."
Salam Berbagi Cerita.
0 komentar:
Posting Komentar